Sekolah Tunas Dharma

Sharing Session Tentang Pencegahan Kekerasan (Bullying) di Sekolah Tunas Dharma

Yayasan Pendidikan Rosma | Pada hari Jumat, 8 Oktober 2024 diadakan Rapat Rutin Koordinasi Kompleks Sekolah Tunas Dharma. Adapun rapat ini merupakan agenda rutin bulanan yang wajib diikuti oleh para guru dan tenaga kependidikan di Sekolah Tunas Dharma, yang terdiri dari TK, SD, SMP dan SMA. Rapat ini juga diikuti oleh jajaran Pengurus Yayasan Pendidikan Rosma, yang dalam kesempatan tersebut juga memberikan sosialisasi tentang regulasi dan aturan kepesertaan para guru dan karyawan Sekolah Tunas Dharma, di program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, atau BPJS. Dalam hal ini BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Dalam sesi rapat di bulan November ini, yang kebagian “jatah” bertugas sebagai pengisi materi adalah guru dari unit SD Tunas Dharma, yakni Ibu Lanni Sister Fania, S.Pd., dan Ibu Oka Julia Marlinang Simanjuntak, S.Pd. Ibu Lanni dan Ibu Oka, membawakan materi sharing session tentang Pencegahan Tindakan Kekerasan (Bullying) di Lingkungan Sekolah, khususnya dalam konteks di lingkungan Sekolah Tunas Dharma. Yayasan Pendidikan Rosma memang rutin menggelar sharing session yang dikemas bersama rapat rutin bulanan Kompleks Sekolah Tunas Dharma di setiap bulannya, dengan melibatkan seluruh guru dan tenaga kependidikan di Sekolah Tunas Dharma.

Seperti kita pahami bersama, pada saat ini dunia pendidikan kita dirasa tidak sedang baik-baik saja. Hal ini salah satunya disebabkan oleh maraknya tindakan Bullying, yang terjadi di banyak sekolah dan lingkungan pendidikan di seluruh Indonesia. Berkat kekhawatiran inilah, Ibu Lanni dan Ibu Oka melalui sharing session ini mengangkat tema Bullying, dalam rangka antisipasi dan kesiapan para guru dan tenaga kependidikan agar selalu siap dan aktif dalam mensosialisasikan tentang pencegahan tindakan kekerasan di lingkungan Sekolah Tunas Dharma.

Dalam pemaparan materinya, Ibu Lanni Sister Fania, S.Pd., menyampaikan: “Bullying atau perundungan merupakan tindakan mengganggu, mengusik, atau menyakiti orang lain secara fisik atau psikis. Tindakan ini bisa dalam bentuk bentuk kekerasan fisik, verbal, sosial, atau simbol yang dilakukan secara berulang ulang dan dari waktu ke waktu. Secara etimologi, asal usul kata bullying berarti penggertak, yaitu seseorang yang suka mengganggu atau mengusik orang lain yang dianggap lemah. Oleh karena itu, korban bullying selalu dicitrakan sebagai sosok yang dianggap lemah, kurang atau bodoh (dalam tanda petik). Sementara, para pelaku bullying itu selalu melibatkan pelaku yang dianggap kuat, hebat, pintar dan superior yang mengganggap dirinya itu lebih dari orang lain”. Menurut Ibu Lanni, bahwa paradigma inilah yang menjadi akar masalah dan sebab-musabab dari awal atau niat terjadinya bullying pada diri seseorang.

Pada kesempatan yang sama, Ibu Oka Julia Marlinang Simanjuntak, S.Pd., dalam pemaparannya mengatakan: “Bahwa ada beberapa jenis bullying yang sering terjadi, yakni kontak fisik langsung, kontak verbal langsung, pelaku non-verbal langsung, pelaku non-verbal tidak langsung, cyber bullying, pelecehan seksual, dan perundungan emosional. Perilaku bullying yang menyasar fisik umumnya mudah diidentifikasi, tindakan ini meliputi memukul, menendang, mendorong, menggigit, menjambak, mencubit dan mencakar. Atau bisa juga misal mengunci seseorang di dalam ruangan, memeras dan merusak barang orang lain juga termasuk tindakan perundungan.

Contoh bullying non-verbal yaitu seperti tatapan sinis, atau mengekspresikan mimik yang merendahkan, menghina, mengejek atau mengancam. Namun, tindakan non-verbal ini pada umumnya dilakukan bersamaan dengan tindakan fisik dan verbal. Faktanya, perundungan juga bisa terjadi secara non-verbal tidak langsung. Contohnya yaitu memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak atau hancur, mengucilkan atau mengabaikan secara sengaja atau mendiamkan seseorang. Di era yang serba teknologi seperti sekarang, tindakan bullying juga marak terjadi secara online. Contohnya dengan membuat video atau konten lainnya yang mengintimidasi seseorang lewat media sosial. Yang tidak kalah penting adalah pelecehan seksual. Pelecehan seksual juga salah satu bentuk tindakan bullying. Perilaku ini bisa berupa agresi fisik atau verbal. Agresi merupakan perilaku yang dilakukan secara sengaja untuk  menyebabkan kerusakan fisik atau mental seseorang.

Selanjutnya, perundungan emosional. Hal ini terjadi ketika seseorang berusaha mendapatkan apa yang mereka inginkan, tetapi dengan cara membuat orang lain (korban) merasa marah, takut, cemas, hingga tidak nyaman. Perundungan emosional dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental pada korbannya. Contoh perundungan emosional seperti mengejek, menggoda, mengancam, meremehkan, berbohong, hingga mempermalukan korban. Efek yang bisa ditimbulkan dari bullying ini tidak boleh disepelekan karena dapat mengganggu kondisi mental, terlebih apabila terjadi pada anak-anak”.

Di dalam kesimpulannya, Ibu Lanni dan Ibu Oka mengingatkan tentang pentingnya bagi seroang guru untuk berpikir dan bertindak egaliter, kepada semua murid muridnya. Egaliter adalah sikap atau tindakan yang menyetarakan dan memandang sama kepada seluruh potensi dan kemampuan siswa. Dengan sikap ini, seorang guru akan dianggap dan dicitrakan sebagai sesosok guru yang adil di hadapan para siswanya. Artinya, dalam tindakan nyata bahwa seorang guru tidak boleh hanya mengelu-elukan siswa yang pintar dan potensial saja. Melainkan, seorang guru juga harus mampu untuk memahami dan berusaha untuk “mengangkat” potensi siswa yang dinilai kurang, untuk dapat membantu menemukan minat dan bakatnya, agar tercipta sebuah kelebihan dan keunggulan di masing-masing diri siswa yang sangat beragam.

Bagikan :

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp