Sekolah Tunas Dharma

Psikolog Dinda Aisha Ajak Siswa-siswi SMP Tunas Dharma untuk Menjadi Remaja Tangguh

SMP Tunas Dharma | Pada hari Jumat, 21 Februari 2025, SMP Tunas Dharma mengadakan seminar tentang psikologi perkembangan remaja, bertempat di Aula SMP Tunas Dharma, yang berlangsung dari Pukul 08:00 – 11:00 Wib. Adapun seminar ini diisi oleh pemateri tunggal, yakni Ibu Dinda Aisha, M.Psi., Psikolog. Ibu Dinda, merupakan seorang psikolog klinis dan dosen di Fakultas Psikologi Universitas Buana Perjuangan, Karawang. Ia menyelesaikan pendidikan Sarjana Psikologi (S1) di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, dan pendidikan Magister (S2) Psikologi dan Profesi Psikolog di Universitas Indonesia (UI) Depok. Adapun, seminar ini mengambil tema: “Yuk, Jadi Remaja Tangguh!”. Seminar ini dirancang dengan format semi workshop, sehingga terjadi interaksi dua arah antara pemateri dengan para peserta, yang menjadikan seminar ini berlangsung secara dialogis dan friendly. Acara seminar ini diikuti oleh seluruh siswa dan siswi SMP Tunas Dharma, dari kelas 7 sampai kelas 9.

Seminar psikologi perkembangan remaja ini mengupas tuntas berbagai persoalan yang acap kali dihadapi oleh para remaja di masa kini, khususnya di usia anak sekolah menengah pertama, yakni di rentang usia 13 sampai 15 tahun, di mana fase ini dikategorikan sebagai masa remaja awal. Di mana secara umum, masa remaja itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: masa remaja awal (dengan rentang usia 12-15 tahun), masa remaja pertengahan (dengan rentang usia 15-18 tahun), dan masa remaja akhir (dengan rentang usia 19-22 tahun). Setelah masa remaja akhir, maka seseorang secara psikologis telah memasuki masa dewasa di dalam fase perjalanan hidupnya.

Ada banyak fenomena sosial yang sering dihadapi para remaja di masa remaja awal, di antaranya seperti:

  1. Masalah fisik dan penampilan
  2. Masalah gangguan makan
  3. Masalah stres dan depresi
  4. Masalah bullying dan cyberbullying
  5. Masalah kecanduan gawai
  6. Masalah percobaan akan hal baru yang bersifat negatif (seperti: merokok, minuman keras, Narkoba, pergaulan bebas)
  7. Masalah kesehatan fisik
  8. Masalah akademis
  9. Masalah percintaan (asmara)

Di dalam seminar ini, pemateri berfokus kepada solusi dan penanganan masalah yang bermuara pada upaya penguatan mental dan pembentukkan karakter siswa, untuk menjadi remaja yang tangguh ke dalam sebuah tata kelola emosi atau manajemen stres. Dalam perkembangannya, seorang remaja tentu tidak bisa terlepas dari lingkungan sosialnya di dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, yang notabene dipenuhi dengan berbagai masalah dan problematika sosial yang terjadi. Sebagai contoh, masalah kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah di Indonesia. Data Litbang Kompas (2023) mencatat, bahwa telah terjadi tindakan kekerasan yang mengarah kepada unsur tindak pidana terjadi sebanyak 7 kasus pada tahun 2021, 68 kasus pada tahun 2022, dan 52 kasus pada tahun 2023. Hanya dalam rentang waktu 3 (tiga) tahun tersebut, tercatat sebanyak 127 kasus tindakan kekerasan yang melibatkan anak remaja usia sekolah terjadi di Indonesia. Adapun 127 kasus tersebut terklasifikasi sebagai: tindak kekerasan perundungan sebanyak 52 kasus, tindak kekerasan seksual sebanyak 50 kasus, dan tindakan intoleransi sebanyak 25 kasus. Hal tersebut tentu merupakan sebuah ironi dan problematika sosial yang serius, karena dari 127 kasus tindak kekerasan tersebut ternyata memakan korban jiwa. Dari 127 kasus tersebut, dinyatakan sebanyak 19 orang dilaporkan meninggal dunia.

Ibu Dinda Aisha, M.Psi., Psikolog., dalam pemaparannya mengungkap masalah tentang gejala psikologis yang kerap dihadapi para remaja, yakni: masalah kecemasan, masalah depresi, masalah trauma psikologis, masalah bunuh diri. Mengacu kepada data Himpunan Psikologi Indonesia (HMPSI) Tahun 2022 menjabarkan survey yang menunjukkan sebanyak 71,7% remaja mengalami kecemasan psikologis, 72,9% remaja mengalami depresi, 84% remaja mengalami trauma psikologis. Persentase tersebut berasal dari sampel sebanyak 3.852 responden, yang merupakan para remaja di usia SMP sampai SMA (13 sampai 19 tahun).

Lebih lanjut, Ibu Dinda memaparkan: “Berdasarkan data tersebut, tentu persoalan psikologis yang dihadapi para remaja secara umum ini merupakan maslaah serius yang tidak boleh dianggap enteng, mengingat hal tersebut berpotensi merupakan sebuah fenomena gunung es, yang artinya data dan fakta yang berhasil terungkap itu hanya sebagian kecil saja dari kasus yang sebenarnya terjadi. Artinya, kasus nyata yang sebenarnya terjadi bisa jadi jauh lebih besar jumlahnya dari data tersebut, namun tidak berhasil diungkap ke permukaan. Dalam konteks inilah, para guru di sekolah dan terlebih para orang tua di rumah, harus betul-betul menyadari dan memahami persoalan ini, dengan cara mengenali pribadi anak secara menyeluruh dan mendalam. Hal ini dimaksudkan, agar tercipta semacam ‘early warning system’ di kalangan orang tua dan guru, untuk dapat mencegah terjadinya persoalan sosial yang lebih besar lagi yang dialami oleh anak-anak kita.

Ada sebuah fenomena psikologis yang meresahkan di kalangan anak-anak remaja kita dewasa ini, misalkan saja fenomena Self Harm. Self harm, ialah sebuah tindakan psikologis yang dilakukan seseorang untuk menyakiti dirinya sendiri. Contoh tindakah self harm semisal seperti: memukul dan melukai wajah, badan atau anggota tubuh diri sendiri dengan tangan kosong atau dengan benda-benda tumpul, dan tak jarang bahkan dengan benda tajam seperti pisau, silet dan benda berbahaya lain. Saya sendiri, pernah malakukan sebuah penelitian di Kabupaten Karawang tentang fenomena self harm ini, di mana saya menemukan data pada tahun 2023 terjadi sebanyak 73,41% dari 176 responden, pernah melakukan aksi self harm. Sementara pada tahun 2024, terjadi sebanyak 81,70% dari 116 responden, menyatakan pernah melakukan aksi self harm.

Saya berkesimpulan, bahwa ada 4 (empat) masalah besar yang dihadapi para remaja dewasa ini, khususnya di Kabupaten Karawang, yakni: kecemasan, depresi, stress dan trauma, serta perilaku abnormal seperti agresif, self harm dan antisosial. Hal ini disebut sebagai masalah psikososial, yakni sebuah gambaran masalah yang muncul dari gangguan mental/psikologis yang dialami oleh seseorang. Bukan hanya sekedar diagnosa gangguan psikologis/kesehatan mental belaka, tetapi bagaimana kondisi ini mempengaruhi kehidupan sosial seseorang. Sedangkan masalah psikososial yang kerap dihadapi para remaja pada umumnya adalah tidak bisa mengikuti/memahami pembelajaran, berkonflik dengan orang sekitar, dianggap aneh/dijauhi orang, merugikan diri sendiri dan orang lain.

Masalah tersebut dapat muncul di rentang usia 12-18 tahun, di mana pada rentang usia ini seseorang sedang berada di masa remaja awal, yang pada umumnya sedang dalam proses pecarian identitas atau jati diri, yang terkadang ia harus menentukan sebuah sikap. Nah, pada titik inilah terkadang seseorang kerap mengalami kebingungan dan kebimbangan akan identitas dan kepribadiannya. Dalam rentang usia ini juga, maka seseorang sangat rentan untuk melakukan hal-hal yang bersifat coba-coba, serta mengikuti gaya dan perilaku teman sebayanya. Karena pada fase ini, seseorang itu menghadapi tuntutan persaingan sosial yang tinggi, mengalami krisis identitas, mengalami masalah keluarga, terpengaruh oleh media sosial dan terpengaruh oleh lingkungan pergaulannya. Jika seseorang tersebut lebih dominan dipengaruhi oleh hal yang bersifat negatif, maka taruhannya adalah masa depan anak itu sendiri yang akan mengalami sebuah pertaruhan besar.

Keseluruhan fase dan proses psikologis peremajaan ini bukannya tanpa cara untuk mencegah dan mengantisipasinya. Ketika seseorang mengalami sebuah kegagalan, maka sebagai remaja yang bisa dilakukan adalah mencari tahu penyebab kegagalan tersebut, dan mencoba untuk memperbaikinya di hari esok untuk mencegah kegagalan serupa terjadi di kemudian hari. Atau, jika ada teman sebaya yang mengejek atau menyudutkan diri kita, maka hal yang harus dilakukan adalah dengan cara mengabaikan dan tetap percaya diri. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mencari partner teman sebaya atau orang yang lebih senior tetapi bisa dipercaya, sebagai tempat berkonsultasi dan dapat bertindak sebagai mentor atau partner untuk melakukan hal-hal positif dalam menuju ke arah perbaikan diri.

Pengertian remaja tangguh itu ibarat sebuah ‘gaya pegas’, artinya, Ketika kita berada dalam situasi sulit, situasi tidak menyenangkan atau situasi tidak menguntungkan, maka kita harus bertekad untuk bisa bangkit lagi ke posisi semula. Seperti sebuah pegas. Dengan demikian, kita harus mampu menghadapi tantangan dan tidak mudah menyerah, percaya akan kemampuan diri sendiri bahwa kita mampu menghadapi masalah tersebut, dan yang terpenting kita harus mampu mengelola emosi pada pikiran kita sendiri dengan manajemen stres. Tips sederhana yang bisa saya berikan, salah satunya cobalah membuat sebuah pemetaan sederhana tentang gambar diri. Tulis dan jabarkan, tentang daftar kelebihan atau kekuatan dari diri kita. Untuk kemudian, daftar list tersebut dijadikan sebuah bahan refleksi diri untuk kita sendiri, dan bisa juga dikonsultasikan dengan cara meminta pendapat orang lain yang bisa dipercaya untuk menganalisa dan akhirnya memberikan saran-saran positif dan produktif untuk kita sebagai bahan ‘self improvement’ atau pengembangan diri, dalam rangka menuju ke arah yang lebih baik”, demikian, papar Anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HMPSI) dan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPKI) tersebut.

Di dalam seminar tesebut, Ibu Dinda juga mengajak para siswa-siswi SMP Tunas Dharma untuk belajar menganalisa masalah, untuk dapat memecahkan masalah secara tepat dan sehat. Hal ini dilakukan dengan cara menjabarkan dan menganalisa masalah yang sedang dihadapi oleh para siswa ke dalam selembar kertas penuh yang berisi uraian tentang jenis masalah, penjabaran masalah, penilaian tentang masalah, solusi alternatif pemecahan masalahnya, serta pengambilan tindakan atas masalah yang dihadapi tersebut, dan diakhiri dengan evaluasi hasilnya. Hal ini dimaksudkan agar siswa bisa menyelesaikan masalah  dengan tepat, bijak dan sehat. Jika terjadi masalah, bagaimana seseorang itu mengatasi masalahnya? Karena banyak remaja yang mengalami stres bahkan depresi, karena masalah yang mereka anggap sulit untuk diselesaikan. Dengan penjabaran dan pemecahan masalah yang tepat, maka mereka akan bisa menemukan solusi alternatif yang mudah dan efektif dalam rangka memecahkan masalahnya.

Selanjutnya, Ibu Dinda juga menjabarkan tentang manajemen stres. Sebagai manusia normal, semua remaja mempunyai unsur emosi yang bersifat negatif, yang terkadang cenderung mengambil alih diri kita. Emosi itu ibarat tamu, dia bisa datang secara tiba-tiba namun tidak menetap lama. Emosi, bisa merupakan emosi positif dan emosi negatif. Hal ini dikarenakan, bahwa setiap orang di dalam sel otaknya memiliki bagian yang dinamakan Limbic System, yang berfungsi mengendalikan semua fungsi tubuh yang merupakan tempat naluri, emosi dan kreatifitas. Limbic System ini dapat memproses informasi secara lebih cepat, lebih mudah mereaksi secara emosi dibandingkan dengan logika. Sebagai contoh, misal ketika kita melihat ular, ulat atau kecoa maka kita seketika pasti bereaksi secara emosi dalam bentuk kekagetan, kecemasan, kekhawatiran atau ketakutan. Sementara di sisi lain, di dalam sel otak manusia juga memiliki The Cortex, yakni sebuah fungsi eksekutif yang lebih bersifat positif dalam bentuk berpikir logis, problem solving, dan pengambilan keputusan strategis.

Di dalam manajemen stres yang baik, seseorang harus mampu mengguakan The Cortex-nya dengan baik, untuk terhindar dari stres. Di dalam Kurva Stres, stres itu terdiri dari beberapa level, yakni: Too Little Stress (tidak aktif – santai), Optimum Stress (lelah), Too Much Stress (penat), dan Burnout (cemas – gangguan). Manajemen stres, dimaksudkan untuk terhindar dari kondisi stres yang dapat mempengaruhi tindakan atau perilaku seseorang secara negatif. Apapun hubungan antara stres dengan perilaku seseorang, dapat dijabarkan sebagai berikut:

Unsur Pikiran:

  1. Sulit berpikir dan mengambil Keputusan
  2. Mengalami masalah konsentrasi
  3. Mengalami kebingungan
  4. Menyalahkan diri sendiri
  5. Bermasalah dengan ingatan
  6. Berpikiran negatif
  7. Menyerah dengan keadaan

Unsur Emosi:

  1. Shock
  2. Marah
  3. Ketakutan
  4. Kesedihan – kedukaan
  5. Rasa bersalah
  6. Kecemasan
  7. Disosiasi

Unsur Fisik:

  1. Gangguan tidur
  2. Bersifat sensitif
  3. Merasakan kelelahan
  4. Masalah psikosomatik
  5. Gangguan pencernaan
  6. Gangguan lambung
  7. Gangguan pernapasan

Unsur Sosial:

  1. Berjarak, terisolasi, teralienasi
  2. Mudah marah dan rentan berkonflik
  3. Menyalahkan keadaan /orang lain
  4. Memberontak / melakukan perlawanan
  5. Berkurangnya sosialisasi
  6. Menimbulkan prasangka buruk kepada orang lain / lingkungan

Terakhir, Ibu Dinda mengajak seluruh siswa-siswi SMP Tunas Dharma untuk selalu berpikir positif, dan mengubah pola pikir negatif menuju pola pikir positif di setiap waktu. Berikut, pola pikir sederhana yang harus ditanamkan ke dalam benak siswa, agar selalu memiliki memikiran yang positif di dalam dirinya:

Untuk mendukung hal tersebut, sebagai bentuk penyaluran kegiatan positif yang bisa mendukung pemikiran yang positif, siswa bisa melakukan hal-hal dan tindakan positif yang ringan, seperti:

  1. Melakukan hobi yang digemari
  2. Berolahraga
  3. Fokus ke hal pengembangan diri
  4. Curhat ke orang tua / guru
  5. Membuat jurnal / catatan ringan
  6. Dan kegiatan positif lain

Dengan demikian, para siswa-siswi bisa menjadi remaja yang tangguh. Remaja yang tangguh adalah remaja yang mengenali kondisi dirinya sendiri, bisa mengelola emosi negatif yang ada di dalam pikirannya sendiri, berfokus memikirkan dan merencanakan masa depan yang baik, dan remaja yang bermitra secara sehat dengan teman sebaya, senior, guru dan orang tua secara sehat. Intinya, manajemen stres adalah sebuah metode dan kunci untuk menjadi remaja yang tangguh, dalam rangka mempersiapkan diri menjadi pribadi yang unggul dan berkarakter untuk meraih masa depan yang gemilang di hari esok.

Bagikan :

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp